Kalender Jawa masih punya tempat istimewa dalam kehidupan masyarakat, terutama di Jawa. Tidak hanya jadi penanda hari, kalender ini juga dianggap sebagai pedoman hidup yang terkait dengan adat, budaya, bahkan kegiatan spiritual. Bulan September 2025, misalnya, bukan sekadar bulan kesembilan dalam kalender Masehi, tapi dalam penanggalan Jawa disebut sebagai Mulud 1959 Jimawal yang kemudian beralih ke Bakda Mulud 1959.
Bagi umat Islam di Jawa, bulan Mulud erat kaitannya dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Selain peringatan secara religius, bulan ini juga ditandai dengan tradisi budaya, seperti Grebeg Mulud di keraton-keraton Jawa. Acara ini biasanya menampilkan arak-arakan gunungan hasil bumi yang diperebutkan warga sebagai simbol berkah. Jadi, kalender Jawa bukan cuma alat hitung waktu, tapi juga pengingat warisan tradisi yang masih bertahan hingga sekarang.
Struktur Unik Kalender Jawa
Beda dengan kalender Masehi yang berbasis peredaran matahari, kalender Jawa mengikuti siklus bulan (lunar). Itu sebabnya jumlah harinya lebih singkat, sekitar 354 hari dalam setahun. Bulannya pun punya nama khusus seperti: Sura, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, hingga Besar.
Selain mengenal tujuh hari biasa (Senin–Minggu), kalender Jawa juga punya siklus pasaran yang berjumlah lima, yaitu Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Nah, kalau kedua sistem ini digabung, lahirlah weton dengan siklus 35 hari. Weton inilah yang jadi acuan masyarakat Jawa untuk berbagai hal, mulai dari menentukan hari baik pernikahan, khitanan, pindah rumah, sampai memulai usaha.
Lalu ada juga neptu, yaitu nilai angka hasil penjumlahan hari dan pasaran. Bagi sebagian orang Jawa, neptu dipercaya bisa menunjukkan kecocokan jodoh, menentukan waktu yang tepat untuk hajatan, bahkan menimbang keberuntungan.